Monday 10 February 2014

When You Were Born

"Setiap detik waktu berputar, setiap langkah yang aku tempuh, setiap cacian yang aku terima, setiap tatapan yang aku lihat, dan setiap air mata yang aku keluarkan, tak akan menghalangiku untuk menjalani indahnya hidup ini"


Hari minggu yang menyenangkan, dimana semua orang dapat beristirahat dengan bersantai-santai atau menghabiskan waktunya bersama keluarga.
Ya! bersantai-santai, tapi untukku tentu tidak jika menghabiskan waktu bersama keluarga.
Perkenalkan, namaku adalah Ananda. Aku dibesarkan oleh kedua orang tuaku di kota tercinta ini, dari kecil aku sudah melihat apa yang tidak seharusnya aku lihat. Tamparan, pukulan, makian, barang-barang yang berterbangan kemana-mana. 
Aku hidup selalu berkecukupan, semua yang aku mau selalu dituruti, sehingga sampai sekarang ini aku selalu mempunyai sifat egois yang tinggi, jika tidak dituruti kemauanku, aku akan mengambil langkah lain untuk mendapatkan itu. 
Orang tuaku adalah pengusaha besar di kota ini, tidak heran jika aku selalu mendapatkan apa yang aku mau walaupun mereka tidak pernah akur.
Papa, seorang laki-laki egois yang selalu melampiaskan kemarahannya pada mama dengan pukulan, tendangan, dan macam tindakan keji lainnya.
Mama, seorang wanita yang kuat, tangguh, tapi mulutnya sangat pedas jika melontarkan perkataan kepada orang yang dibenci.

Suatu malam aku bertanya "kenapa mama tidak cerai saja sama papa? kenapa kalian selalu bertengkar? apakah ini yang namanya pernikahan? apakah semua orang yang sudah menikah akan mengalami hal seperti ini, ma?"

Mama hanya tersenyum, lalu menangis dengan malu. Ia menutupi wajahnya dengan tisu, lalu mengusap keningku. "Tidurlah, kamu besok sekolah. Mama sayang Ananda"

Aku tumbuh menjadi gadis dewasa, aku mulai merasakan perbedaan pada lingkungan sekitarku. Kehidupan yang sangat keras mulai juga aku rasakan. Sangat berbeda.
Aku menginjak Sekolah Menengah Atas, sekarang sudah kelas 10. 
Walaupun baru awal-awal sekolah, tapi aku sudah mulai menemukan teman akrab yang selalu bersama-sama denganku dari awal masuk Masa Orientasi hingga sekarang. 

Setiap pulang sekolah, aku selalu menunggu di bawah pohon dekat gerbang sekolahku. Menunggu datangnya Pak Mir, supir kesayanganku dari kecil. Aku sangat dekat dengannya, sampai-sampai pernah suatu hari rapot sekolahku diambil sama Pak Mir, bukan sama ayah tercinta.
Aku merasa iri terhadap teman-temanku yang walaupun sudah besar tapi tetap dijemput oleh orang tuanya, dibawakan bekal ke sekolah, dan lain lain.
Memang mereka juga kadang merasa malu jika sudah sebesar ini tapi masih melibatkan orang tua untuk hal-hal yang kurang penting, but they don't know how it feels when your parents are the one whom you expect much, hurt you the most.
Aku tidak pernah merasakan kasih sayang yang begitu dalam dari kedua orang tuaku, yang aku punya hanya uang segunung dimana aku bisa menghabiskannya berfoya-foya, tapi hanya kebahagiaan semu yang aku dapat.


"Kamu kok bengong aja toh neng? yuk pulang!"

"Ah, Pak Mir ngagetin aja. Aku lagi liatin temen-temen aku yang dipayungin sama mama papanya itu."

"Udah yuk pulang, nanti kesorean. Sini pak payungin juga."

"Hehehe Pak Mir bisa aja."


Kehidupan keras sangat terasa saat aku mulai jatuh cinta pada seorang cowok bernama Kevin. 
Entah darimana datangnya perasaan ini, aku diam-diam menaruh hati padanya. Aku berusaha untuk merahasiakan ini kepada siapapun.
Kevin adalah kakak kelas aku, dia kelas 12 sekarang. Dia sangat charming, gayanya saat jalan sangat membuat aku terpesona. 
Aku tidak bisa melakukan apapun selain memandanginya setiap aku menemukannya di sekolah.
Aku hanya bisa memikirkannya setiap malam, aku hanya bisa membayangi wajahnya saat mau tidur. Aku benar-benar ingin memilikinya.

Esokan harinya, aku berjalan di teras sekolah dan mencoba untuk mengintip dia dibalik mading, tapi ternyata aku salah. Aku tertangkap oleh matanya yang langsung melirik ketika aku sampai.

"Eh, maaf kak hehe" canggung, sambil garuk-garuk kepala.

"Ada apa ya? Kok minta maaf?"

"Ha nggak si gak kenapa-kenapa, saya kira saya ganggu."

"Oh, kamu kelas berapa?"

"Kelas 10 kak, kakak kelas berapa?"

"Kelas 12. Rumahnya dimana? Kenapa belum pulang?"

"Deket sini kok, nanti aku tunggu jemputan, kakak sendiri kenapa belum pulang?"

"Aku mau minta nilai sama guru sosiologi, soalnya kemarin gak masuk jadi harus susulan dan nilainya belum keluar."

"Oh gitu... yaudah kak aku duluan ya."

Kevin menarik tanganku saat aku beranjak pergi, aku menoleh ke wajahnya dan dia menatapku dengan sangat serius. "Kita belum selesai bicara, boleh minta nomor hp kamu? atau pin bbm? kalo bisa lebih dekat kenapa nggak?"
Dalam hati aku tersenyum lebar, sangat-sangat senang, sampai-sampai aku gugup memegang handphone-nya untuk menyimpan nomorku.

"Ini kak nomornya udah"

"Yaudah sana pulang, udah dijemput kan?"

"Udah kak, duluan ya."

"Iya, hati-hati."

Sepanjang jalan menuju mobil aku hanya bisa tersenyum, tidak peduli berapa orang yang menganggap aku gila, intinya hari ini THE BEST DAY EVER!
Pak Mir memang orang yang paling mengerti aku, dia mengerti apa yang aku alami hari ini tanpa harus bertanya terlebih dahulu. 
Aku bercerita tentang hari ini pada Pak Mir, dia mendengar setiap detil yang aku ceritakan. 

"Kamu ini masih kecil kok udah cinta-cintaan toh neng, nanti kalo mama sama papa tau gimana? kena marah gak?"

"Ah kecil apanya, aku udah SMA ya udah besar lah. Lagian mereka peduli apa sih tentang aku? Aku dari kecil kan diurusnya sama Pak Mir."

"Iya tapi kan mereka orang tua kamu neng, kalo gak ada mereka kamu gak ada loh di dunia ini, jangan bicara sembarangan dong, oke neng cantik?"

"Oke Pak Mir, tapi nanti Pak Mir bantuin aku ya, Pak Mir jangan bilang siapa-siapa apalagi ke papa sama mama tentang Kevin. Aku harus ngapain ya supaya Kevin jatuh cinta sama aku Pak?"

"Iya neng, beres deh. Hmmm kalo menurut bapak, kamu harus jadi diri kamu yang terbaik. Kamu harus nunjukkin kalo kamu bisa begini begitu maksudnya dalam hal yang positif, kamu harus melakukan yang terbaik untuk dia."

"Terus apalagi pak?"

"Yah udah gitu aja sih neng, kamu jangan malu-malu kalo ada dia, ajak aja dia ngobrol buat dia nyaman sama kamu. Kamu kan cantik mana ada yang nolak kamu."

"Ah Pak Mir bisa aja, makasih ya Pak Mir sarannya nanti aku traktir bakso."

"Oke bos cilik!"

Aku melakukan semua yang dikatakan Pak Mir, supir tercintaku. Mulai dari cara berdandan, cara berpakaian, hingga semuanya aku ubah sampai jadi yang terbaik. 
Semua aku lakukan untuk Kevin, hanya dia lah yang ada di pikiranku selama ini, aku tidak akan membuang kesempatan ini.
Dan ternyata setelah sekian lama waktunya, Kevin benar-benar jatuh cinta padaku, dia mengungkapkannya saat hari Valentine tiba.
Bunga, boneka dan sekotak cokelat dibawanya untuk diriku, kurang romantis apalagi dia mengajakku ke tengah lapangan dan disana dia sudah mengumpulkan teman-temannya untuk menyaksikan semua ini.

"Would you be my valentine, Ananda?"
"Yes, I would"

Seketika itu juga teman-temannya yang menyaksikan langsung melepaskan 14 balon berwarna pink, sungguh indah. 
Aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya, ternyata cintaku tidak bertepuk sebelah tangan pada Kevin.
Perjuanganku terasa sangat bernilai, aku tak dapat mengubah perasaanku hari itu menjadi kata-kata. I'm glad that I found you, Kev!

Setiap hari aku bersama Kevin, tidak terasa kami menjalani hubungan sudah 8 bulan lamanya.
Banyak yang kita lewati, rintangan yang penuh masalah-masalah, tapi kita bisa bertahan sampai sekarang, aku benar-benar sayang padanya.

"Seandainya kamu tahu aku ingin selalu begini, aku sudah menginginkanmu jauh sebelum kamu mengenal aku, aku sayang kamu Kev." kata-kata ini yang aku tulis di sebuah kertas pada malam hari, aku selipkan di sebuah buku harian yang sudah lama tidak pernah aku buka dari sejak aku umur 13 tahun.

Memang yang namanya kehidupan itu pasti berputar, kadang berada di atas kadang berada di bawah, dulu aku pernah di atas, sekarang aku berada di bawah.
Masalah kian datang tak pernah berhenti, membuat aku menangis sejadi-jadinya setiap malam tanpa seorang pun yang tau.

Mama ribut besar sama papa di dalam rumah, wajah mama yang cantik harus terlihat rapuh karena matanya yang bengkak setelah dipukuli papa.
Aku bersumpah tidak akan melihat wajah ayahku lagi jika ia masih terus memukuli mama seperti ini. Aku sungguh tidak tega. 
"Mama belum jawab pertanyaan Nanda, dulu kan aku pernah tanya, apa semua orang akan mengalami seperti mama ini setelah menikah nanti? Ma.. Nanda gak mau dipukulin sama suami Nanda nantinya."

"Nanda... kamu itu cantik, jangan sia-siakan hidup kamu hanya untuk orang yang salah. Carilah pria yang baik, yang setia sama kamu, yang selalu menghargai perasaan wanita sama seperti ia menghargai perasaan ibunya. Kamu adalah bidadari kecil mama yang sudah dewasa, mama janji mama gak akan pernah membiarkan siapapun menyakiti kamu. Pernikahan adalah awal keseriusan dalam suatu hubungan, dimana kamu dan suami kamu harus saling menjaga hubungan itu sampai maut memisahkan kalian. Jangan biarkan seseorang merusak hubungan yang telah kalian jaga nantinya, Nanda akan melahirkan seorang anak, anak itu adalah anugerah dari pernikahan kalian. Kamu mengerti kan maksud mama?"

"Ngerti ma.. Mama jangan nangis lagi ya, nanti Nanda juga tambah nangis. Mama gak boleh pergi dari rumah ini, mama kan masih punya Nanda." Aku memeluk mama sejadi-jadinya, menangis dalam pelukannya, aku tidak ingin melihat orang yang aku sayang disakiti oleh siapapun. 

Masalah yang tiada henti membuat aku bersikap untuk tetap kuat, datang dimana saatnya Pak Mir mengundurkan diri menjadi supir karena istrinya meminta dia untuk istirahat. Satu lagi, aku harus menangis karena kehilangan orang yang aku sayang.

"Pak Mir, seminggu yang lalu mama dipukuli papa mau pergi dari rumah, tapi Nanda larang, sekarang kenapa Pak Mir yang mau pergi? Pak Mir udah gak sayang lagi ya sama Nanda? Nanti Nanda pulang sama siapa? Siapa yang jadi teman curhat Nanda tiap pagi - malam? Siapa yang jaga rahasia Nanda? Siapa yang beliin makanan buat Nanda kalo Nanda lagi sakit? Pak Mir, Nanda mohon jangan pergi." Aku menangis dihadapannya, dan dia hanya bisa memelukku layaknya seorang anak, dia mengusap air mataku sambil menepuk pundakku, dia juga menangis, tapi memang aku tidak bisa egois untuk sekarang ini, Nanda bukanlah Nanda yang dulu. Nanda sudah dewasa. Nanda sudah bisa hidup mandiri. 

"Bapak pamit pulang ya neng, jangan nangis lagi. Nanti kalau ada waktu bapak sempetin main ke rumah neng. Neng, inget ya bapak gak mau neng nangisin bapak lagi. Neng juga kalo ada waktu main ke tempat bapak. Neng kalo ada masalah coba cerita sama mama atau sahabat-sahabat neng, 15 tahun kita bersama, mungkin ini waktunya Tuhan memisahkan kita, suatu saat kita akan bertemu lagi."


Sampai kapan masalah ini akan selesai? Aku tidak ingin kehilangan orang yang aku sayang untuk ke sekian kalinya.
Aku hampir kehilangan Kevin, apakah aku salah jika aku berusaha untuk jujur mengatakan hal yang aku alami dengannya? Kevin berubah, seakan dia sudah bosan dengan hubungan ini, tapi disini aku masih sayang, aku sangat mencintainya, aku merindukan sosoknya yang dulu.

Suatu hari Kevin mengajakku untuk makan malam di luar, kebetulan orang tuaku sedang pergi ke luar kota untuk bisnisnya, jadi aku biarkan diriku menikmati malam itu bersama Kevin di luar.
Entah kenapa, aku merasakan hal yang berbeda dengan Kevin, aku merasakan dia yang dulu telah kembali, perubahan yang sangat cepat.
Kami menghabiskan malam itu berdua, sampai-sampai aku lupa untuk pulang ke rumah. 
Aku terlalu sibuk dengan Kevin malam itu, rasa rindu yang tidak bisa aku genggam lagi, aku tidak ingin jauh darinya. Semua ku lakukan hanya untuk Kevin, hingga tak terasa aku jatuh ke dalam lobang yang salah.


"Kamu hamil, Nan?"

"Iya Vin, gimana ini? aku takut untuk bilang ke orang tuaku."

"Tenang ya kamu tenang jangan nangis terus, aku bakal tanggung jawab untuk semuanya, aku bakal nikahin kamu. Atau kamu buang aja bayi itu?"

"Apa? Kamu gila? Mana mungkin aku akan buang bayi ini, itu sama aja aku membunuh 1 nyawa di dunia. Aku gak mau Vin, aku mau kita menikah."

"Iya aku janji bakal nikahin kamu, sekarang kamu tidur ya istirahat."

"Iya sayang, jangan tinggalin aku ya kamu janji."

"Iya, aku pulang dulu nanti kabarin aku."

Akhirnya ku beranikan diri untuk membicarakan hal ini kepada mama terlebih dahulu, mama sangat terkejut dan hampir saja pingsan. Aku meminta maaf berkali-kali atas kejadian ini, aku sangat malu terhadap semua orang yang aku kenal. Apa kata Pak Mir jika ia tau hal ini? apa kata guru-guru dan teman-temanku di sekolah?

Papa yang kemudian mendengar perbincangan aku dan mama, menghampiri dan menampar wajahku, ia berkata bahwa aku adalah anak tidak tau diri, mungkin aku adalah anak haram, anak yang tidak bisa menghormati dirinya sendiri.
Aku terima semua cacian yang aku dapat, walaupun air mata ini terus mengalir dan hati ini terasa pedih. Aku tetap bertahan.

Setiap malam aku memikirkan bagaimana masa depanku nanti, aku menangis dan berteriak-teriak di dalam kamar. Hanya pelukan mama yang dapat meredakan semua kepedihan yang aku rasakan. 

"Ananda, kamu adalah anak mama satu-satunya. Setiap masalah yang kamu hadapi harus kamu taklukan. Jangan jadi pecundang yang takut akan masalah, setiap kehidupan seseorang itu punya masalah, kamu punya masalah yang berat tapi jika kamu bisa melewati ini semua, you're the strongest woman in the world!"
Makasih mama buat dukungannya, aku tidak akan pernah lupa perkataan mama. Aku coba lewati semua ini dengan apa adanya.
Dan apa yang paling mengenaskan? Kevin kabur entah kemana, dia tidak bisa dihubungi lagi, semua teman-temannya tidak tau dia berada dimana.
Aku melewati hari-hariku dengan Home Schooling. Aku tau bahwa di sekolah sudah banyak yang mengucilkanku dengan sebutan-sebutan jahat. 
Aku menerimanya dengan ikhlas, aku tidak memperdulikan perkataan mereka, aku terus menjalani hidup yang keras ini.

9 bulan 10 hari aku mengandung, akhirnya aku melahirkan anakku yang pertama ini tepat pada tanggal 20 juli. Dia sangat cantik, matanya bulat seperti Kevin, hidungnya mancung seperti aku. 
Aku memberi dia nama : Alarice Radella. Alarice : Pemimpin dari semua orang, Radella : Peri kecil.
Papa dan Mama senang melihat cucu mereka walaupun dia dilahirkan tanpa seorang ayah, aku siap untuk menjadi single parent. Aku akan berusaha untuk menjadi ibu dan sekaligus ayah untukknya. 

Kehamilanku selama ini tidak membuat aku pantang menyerah untuk menjalani hidup, aku terus belajar sebagaimana sebagai seorang siswi. Hingga akhirnya aku lulus SMA, dan siap untuk memasuki Perguruan Tinggi.
Aku memilih untuk masuk ke Perguruan Tinggi Swasta di tempatku, sambil sesekali membawa Radel untuk jalan-jalan ketika pulang kuliah. 

Teman-temanku yang dulu telah mengucilkanku, sekarang kami bertemu lagi.

"Nan, anak lo udah gede ya? Lucu banget, namanya siapa?"

"Iya udah 1 tahun lebih, makasih hehe namanya Alarice Radella, dipanggil Radel."

Radel menjadi bahan perbincangan di kampus antara aku dan teman-teman.

Aku baru menyadari bahwa setiap masalah yang kita punya tentu punya jalan keluar masing-masing yang tidak terduga, bukan masalah yang membuat hidup kamu menjadi gelap, tapi hidup akan menjadi gelap jika kamu tidak punya kekuatan untuk bertahan dalam masalah.

No comments:

Post a Comment