Tuesday 2 July 2013

PAPA

Aku seorang anak perempuan yang akan merantau ke kota orang, karena aku masih duduk di bangku kelas 3 SMA, usiaku genap berumur 17tahun.
Di hari ulang tahunku yang ke 17, aku merasa sangat bahagia. 
Dimana teman-teman, sahabat-sahabat, saudara-saudara, keluarga semua berkumpul.
Aku merasakan sangat bahagia, lama kami tak jumpa, namun akhirnya dapat dipertemukan kembali dalam acara pesta ulang tahunku yang ke 17.
Sekali lagi, aku bahagia.

Oh ya, perkenalkan namaku adalah Anastasia Larasati, aku biasa dipanggil Tasya. Aku lahir pada tanggal 14 februari 1995. Ya! kalian benar, aku mempunyai tanggal lahir yang tepat pada hari valentine.
Aku hanya mempunyai satu orang kakak perempuan, yang usianya sudah 24 tahun.
Namanya adalah Adriana Larasati, biasa dipanggil Ana.
Dia sudah bekerja sebagai owner di Toko butik miliknya. 
Dia mempunyai badan yang bagus, langsing, paras wajah yang cantik, otak yang pintar, dan tentunya pacar yang sederajat.

Aku dilahirkan di keluarga yang cukup berada, papa dan mama berhasil dalam pekerjaannya saat kakakku berumur 8tahun.
Papa bekerja di bidang ekspedisi, namun mama hanya sebagai teller di salah satu bank swasta.
Kata mamaku dulu... Aku lahir karena kakakku ingin memiliki teman, namun yang ia minta adalah anak laki-laki, tapi yang keluar malah aku, seorang anak perempuan.



Suatu hari, ketika aku sedang menunggu jemputan dari Pak Dino (supir pribadiku) aku bertemu dengan salah satu teman akrabku, dia anak laki-laki yang terkenal tampan dan juga pintar di sekolahku.
Namun, dia hanya kujadikan sebagai teman akrab, teman yang selalu berada disampingku dikala aku sedih, jadi tidak salah jika kami mempunyai hubungan yang lebih akrab daripada biasanya, ya! sahabat.
Jeremy namanya.. Jeremy biasa pulang dengan mobil pribadinya, tapi kali ini tidak. Dia ingin menumpang mobilku karena mobilnya lagi di bengkel.

"Tas, gue nebeng ya. mobil gue masuk bengkel kemaren dipake sama kakak gue nih nabrak trotoar"
"Hahaha kok bisa? yaudah santai aja. sabar ya Pak Dino lama nih"
"Iya, tenang aja. Di rumah ada kakak lu?"
"Engga, dia biasa di butik kok sekarang ini"
"Oh.. bagus deh kalo gitu"

Jeremy ini selalu menjadi pelampiasan kakak perempuanku, Kak Ana.
Entah mengapa dia selalu membenci Jeremy tanpa sebuah alasan yang jelas, dipikirannya Jeremy adalah cowok paling brengsek dan bermuka dua yang dianugerahi wajah tampan oleh Tuhan.
Sungguh aku tak bisa banyak bicara, aku diam jika Kak Ana memarahiku ketika Jeremy datang.
Akhirnya Pak Dino pun datang, aku pulang bersama Jeremy.



Sesampai depan rumah Jeremy....
"Jer, gue langsung cabut ya. capek banget badan ini"
"Yaudah, thanks ya buat tebengannya"
"Oke.. daaaaah..."
"Daaaaahhhh...."


Aku pulang dan langsung mandi, lalu aku merebahkan tubuhku di ranjang.
Lagi asik mendengarkan musik, tiba-tiba hp ku berdering.
Dengan spontan aku langsung mengangkatnya.
Ternyata itu mamaku. Dia menanyakan dimana Kak Ana berada sekarang.
"Mana aku tahu, daritadi aku tidak pergi ke butiknya ma..."
"Waduh.. dimana ya dia? mama ini lagi di butiknya tapi dia gak ada, ditelponin juga gak diangkat"
"Telpon ke Kak Deni aja ma.. emang mau ngapain sih ma? kok tumben?"
"Udah, tapi gak nyambung. mama mau temuin dia ke temen mama yang mau liat-liat di butik dia ini"
"Oh yaudah nanti aku coba bantu hubungin"
"Oke, makasih sayang"
"Oke ma..."

Gak lama dari situ, akhirnya aku mencoba menghubungi Kak Ana dan langsung diangkat.
Ternyata Kak Ana sedang berada di Rumah Sakit, Kak Ana mengancam untuk tidak memberitahukan hal ini kepada mama dan papa.
Betapa terkejutnya aku ketika dia bilang bahwa dia ingin menggugurkan kandungan.
Aku memaksa Kak Ana untuk tidak melakukan hal itu, tapi dia tetap bersikeras untuk melakukannya.
Aku menangis dan langsung menyuruh Jeremy datang ke rumah, aku menceritakan semua hal itu pada Jeremy.
Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena Kak Ana sudah tiba depan rumah duluan.
Aku menyuruh Jeremy untuk bersembunyi namun itu akan menjadi sia-sia karena aku paling tidak bisa untuk berbohong, wajahku selalu ketahuan.



"Ngapain lo disini? lo mau gangguin adek gue lagi hah?"
"Nggak kak, dia cuman pengen cerita aja"
"Cerita apa? lo pasti diceritain tentang gue kan sama Tasya?"
Wajahku memucat, aku ketahuan nangis oleh Kak Ana.
Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Di satu sisi aku tidak ingin Kak Ana menanggung dosa karena ia sama saja membunuh satu nyawa di usianya yang masih muda, namun di lain sisi aku tidak tega jika ia ketahuan dengan papa dan mama apalagi anak yang dikandungnya itu bukan berasal dari Kak Deni, pacar Kak Ana.

Rambutku dijambak dan ditarik ke kamar, aku dikunci dari luar dan Jeremy diusir pulang.
Jika Jeremy berani memberitahukan semua itu kepada papa dan mamaku, aku lah yang akan menjadi korbannya.

Aku tahu bahwa dari awal aku lahir, Kak Ana lah yang paling tidak suka dengan kehadiranku hanya karena aku perempuan, dan karena aku perempuan, jatah dia tidak bisa dia dapatkan seutuhnya dari papa dan mama.
Dia selalu merasa seperti itu padahal sebenarnya tidak, mama papa tidak pernah pilih kasih, aku juga sering mengalah, hingga akhirnya dia terjun ke dalam dunia malam.
Dia menjadi seorang perempuan yang bisa dibilang cukup "nakal" sejak memasuki usia 20tahun. 
Entah apa yang dirasakan pacarnya, aku tak mengerti...







Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, aku masih sendirian di kamar dan capek menangis.
Kak Ana entah pergi kemana, papa dan mama pulang dari kerjanya.
Papa mengetuk pintu kamarku, dengan segera aku mengusap semua wajahku dan mencucinya, lalu menyisir rambutku agar tidak ketahuan.

"Papa udah pulang? bawa makanan gak?" 
"Udah dong, nih buat kamu, kamu suka martabak kan?"
"Iya, ini buatku semua pa?"
"Iya, makan aja. papa sama mama udah makan di luar"
"Kak Ana gak dikasih?"
"Kamu polos banget, ya dia pasti udah makan lah sama pacarnya"
"Oh iya iya pa, hehe.."


Jam 9 malam, aku sedang belajar materi sejarah karena hari senin akan ada ulangan di sekolah, tiba-tiba mama masuk ke kamarku, ia sungguh mengejutkan aku.
"Eh ma.. bikin kaget aja sih"
"Maap ya haha.. Tasya, mama mau ngomong 4 mata"
"Ngomong aja, kenapa ma?"
"Sebenarnya mama mau cerita sama kamu dari 2 minggu yang lalu"
"Ada apa sih ma? ngomongnya jangan setengah-setengah dong"

Tiba-tiba mama meneteskan air mata, aku takut apa dia sudah tahu semua tentang Kak Ana dari awal. 

"Mama kok nangis? ngomong aja sama Tasya.. ada apa?"
"Tanggal 2 maret kemarin, mama sama papa pergi ke dokter untuk check-up, papa merasa sakit banget tangan kanannya, papa pusing, mama ajak ke dokter untuk check-up, sebenarnya udah dari awal januari papa udah merasa gak enak, tapi selalu dia sepelein hal itu, katanya cuman sakit biasa.."
"Lalu ma?" Aku semakin penasaran dengan ini..
"Papa divonis kanker otak Sya... mama bingung harus bilang apa, papa di kamar lagi tidur, wajahnya pucet, kepalanya sakit lagi, tangan kanannya susah gerak"
Pena yang ada ditanganku jatuh, air mataku bercucuran, aku sungguh dalam situasi yang sulit.. Tuhan aku harus bagaimana, aku berteriak dalam hati.

"Jadi, yang bawa mobil siapa ma tadi?"
"Pak Doni, itu makanya Pak Doni mulai sekarang nginep buat nganter papa dan mama kerja"
"Ma, papa pasti sembuh kan?"
"Cuman Tuhan yang tau Sya.. mama cuman bisa berdoa"

Malam itu aku dan mama nangis semalaman, aku tidak tahu apakah Kak Ana akan tersentuh hatinya jika ia tahu papa begini.
Kak Ana sering tidak pulang ke rumah, bahkan untuk malam ini pun.




Keesokan paginya dia pulang, dalam keadaan mabuk.



"Kak, aku mau ngomong sama kakak"
"Apa?"
"Papa sakit kak.."
"Sakit apa? kan dia udah berangkat kerja tadi"
"Iya coba kakak liat, biasanya hari sabtu kan gak ada Pak Dino, tiap hari juga nyupir sendiri, ini selalu dianterin, dibawain bekal sama mama"
"Terus, sakit apa dia?"
"Papa divonis kanker otak kak.."
"Bisa sembuh kan?"
"Gak tau, kata mama cuman Tuhan yang tau"
"Oh, yaudah itu mah tungguin aja"


Seketika aku mendengar perkataan kakakku, aku langsung naik pitam!

"Kakak itu punya otak gak sih? Papa itu lagi sakit! apa maksudnya ngomong kayak gitu?"

"Eh lu jadi anak kecil gak usah belaga ya! mau papa itu masih sehat juga ujung-ujungnya bakal mati, tinggal minta warisan aja susah bener"

"Kakak biadab ya! gak tau rasanya susah cari uang! gak tau rasanya bales budi ke orang tua! emang kakak lahir dari batu ya?"



PLAKKKKK!!!!!!! 
Aku ditampar oleh Kak Ana. Aku diam, Kak Ana juga diam.
Aku tidak menangis untuk kali ini. Aku langsung pergi ke kamar dan menelpon Jeremy untuk menjemputku pergi, tapi sayang kali ini Jeremy sedang sakit, dia tidak bisa kemana-mana, akhirnya aku menghabiskan semua waktuku di kamar.
Ini hari sabtu, aku tau mama tidak bekerja di hari ini karena semua bank tutup, tapi mama ikut pergi dengan papa, ini membuat pikiranku semakin tidak karuan.




Kak Deni datang ke rumah secara tiba-tiba, Ia tahu bahwa Kak Ana telah mengandung anak dari lelaki lain.
Mereka bertengkar di rumahku hingga akhirnya papa dan mama pulang.
Papa tersentak dan langsung berjalan menuju mereka, mama menjaga papa dari belakang.
Kak Deni menceritakan semua apa yang telah terjadi, aku hanya melihat dari balik pintu, aku tidak berani keluar.
"Papa tanya sekali lagi, benar ini anak bukan dari Deni?"

"Iya pa.."

"Kenapa kamu tega lakuin itu Anaa????"
"Ayo jawab papa! kenapa kamu tega lakuin itu?? kamu tau kamu udah bikin malu papa mama dan keluarga besar dihadapan Deni, dan secara langsung kamu telah mengkhianati hubungan kamu dengan Deni!!! kamu ini mau menikah, tapi bisa-bisanya kamu hamil di luar nikah, dengan lelaki yang kami semua tidak tahu asal usulnya! perempuan macam apa kamu ini!!"

Papa langsung menampar pipi Kak Ana, tapi ditepis oleh Kak Ana, dan papa didorong!!!
Sungguh kejam kakakku itu, papa jatuh dan akhirnya tidak sadarkan diri.
Aku langsung berlari menangis dan membawa papa ke Rumah Sakit.



"Den, maafin keluarga tante atas perbuatan Ana. tapi tolong doakan untuk Om yang terbaik"
"Iya tante, urusan saya sama Ana tidak termasuk urusan saya dengan kalian, Om harus sembuh"
"Makasih Den.. tolong jagain Tasya ya."
"Pasti tante.."

Papa masuk ruang UGD.
Aku, Jeremy, Kak Deni, dan Pak Dino menemani mama untuk menunggu papa.
Aku kasihan sama mama. Mama selalu menangis sambil mengelus-elus kepala papa.
Sesekali aku dengar mama berbicara kepada papa.
"Pa, mau mama keramasin? disini tangannya dingin gak?"
Aku menangis, aku juga melihat Jeremy berkaca-kaca matanya.
Tidak aku sangka, harus seperti inikah keluarga kami berpisah? Aku tidak mau kehilangan seorang laki-laki hebat yang selalu menjaga aku, yang selalu menjadi pelindung untuk anak perempuan seperti aku.


Kadang aku juga mengajak papa berbicara.
"Pa, liat geh Jeremy senyam senyum tuh sama aku, dia malah gombalin aku disini bukannya jagain papa"
"Pa, aku kangen dibeliin martabak sama papa"
"Pa, kalo aku udah lulus SMA, nanti liburannya ke Hongkong ya?"
"Pa, makan yuk, gak laper tah? Nih mie pangsitnya enak"

Aku selalu menangis dan menangis, aku tidur disamping papa, selalu memegang tangan papa, menggunting kukunya kalo sudah panjang, mencium tangannya, aku kangen.



Sebulan sudah aku bolak balik rumah - sekolah - Rumah Sakit, aku sangat berterima kasih kepada Jeremy dan Kak Deni yang mau mendampingi aku dan mama, dan tentunya juga buat Pak Dino. Dia supir yang sangat setia!
Entah dimana Kak Ana berada, aku sungguh tidak perduli.



Papa bangun!!!! ASTAGA!!!!! 
Jam 3 sore, aku sedang membaca novel disamping papa, mama sedang memotong buah untuk Kak Deni, Pak Dino dan Jeremy, aku kaget, papa melek tapi belum bisa ngomong.

"Ma, papa bangun!!! eh liat bokap gue melekkkkk!!!!!!"

Mama langsung nyamperin papa, mama mencium kening papa, papa tersenyum kecil.
Dia disuguhi bubur oleh mama, aku membantu mama menyuapi papa makan.
Tidak lama, ia memintaku dengan bahasa tubuhnya untuk merebahkan tubuhnya.
Jeremy, Kak Deny, Mama, dan Pak Dino membantuku untuk merebahkan papa.
Akhirnya papa bisa rebahan, dia mengelus wajahku, dia senyum padaku, dia membelai rambutku, dan pada saat itu aku mencium tangannya, lalu aku mengatakan "Tasya sayang papa".




Tidak lama dari situ, ia pun memejamkan matanya, karena memang ia sudah ngantuk dari awal.




Tepat pada jam 6 sore, papa menghembuskan nafas terakhirnya, aku sudah mengatakan bahwa aku mencintainya, dia tahu aku sangat sayang padanya.
Ternyata belaiannya adalah belaian terakhir yang aku dapatkan. Mama dan Jeremy ikut menangis, Kak Deni matanya berkaca-kaca, aku sangat terpukul dengan kehilangan papa.
Pak Dino langsung mencium tangan papa dan berkata "Pak, saya janji saya akan selalu jagain Ibu sama Tasya".

Aku menangis dipelukan Jeremy. Walau papa telah pergi dari kehidupan kami, tapi setidaknya aku tidak telat untuk mengatakan bahwa aku mencintainya :)


SELAMAT JALAN PAPA, AKU SAYANG PAPA.




                                            









No comments:

Post a Comment